INILAHCOM, Pontianak - Pemerintah harus segera merealisasikan kebijakan fiskal, khususnya bidang impor. Saat ini, kur rupiah sudah di atas Rp14.600 per US$. Jangan sampai terperosok terlalu dalam. AS.
"Pemerintah saat ini sudah bekerja dan satu di antaranya dalam hal kebijakan fiskal. Untuk kebijakan fiskal sudah direncanakan. Namun hal itu harus segera direalisasikan agar anjloknya rupiah bisa ditekan," kata akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Pontianak, Prof Eddy Suratman di Pontianak, Kalimantan Barat, Minggu (2/9/2018).
Ia menyebutkan, rencana kebijakan fiskal terkait penaikan tarif impor, perlu segera direalisasikan. Mengingat, saat ini, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Dengan kata lain, nilai impor lebih besar ketimbang ekspor.
"Kebijakan fiskal penting terutama kenaikan tarif pajak impor agar bisa menekan impor tersebut. Tentu dalam kebijakan yang ada nanti harus memperhatikan komoditas apa saja yang harus dinaikkan tarifnya agar tidak menganggu industri dalam negeri. Sebab impor yang ada kebanyakan untuk barang modal atau kebutuhan industri dalam negeri," papar Eddy.
Menurut dia, anjloknya rupiah saat ini tidak terlepas dari faktor eksternal dan internal. Untuk eksternal karena Amerika Serikat (AS) akan menaikan suku bunganya, sehingga memicu dolar AS kembali. Kemudian pada saat yang sama juga saat ini terjadi perang dagang antara Tiongkok dan AS.
"Belum lagi sekarang terjadi juga krisis di Turki dan Argentina. Argentina sudah meminjam lagi ke IMF senilai 50 miliar dollar AS seperti sebelumnya yang tidak begitu lama. Argentina saat ini juga menaikan suku bunganya 60 persen. Hal tersebut tentu mempengaruhi perekonomian berbagai negara termasuk Indonesia," papar Eddy.
Sementara, kata Eddy, untuk pengaruh internal yang menyebabkan anjloknya rupiah, karena neraca perdagangan di Indonesia defisit. Pada Juli 2018, defisitnya US$2 miliar.
"Defisit neraca perdagangan menandakan impor lebih besar daripada ekspor. Dengan impor berarti kita banyak mengeluarkan devisa negara dan pada sisi ekspor rendah. Sehingga kebutuhan dolar AS tinggi sehingga menekan nilai tukar Rupiah," jelas dia.
Di sisi lain, lanjutnya, Bank Indonesia (BI) sudah bekerja maksimal untuk mengatasi gejolak ekonomi Indonesia, dengan menaikan suku bunga menjadi 5,5%.
"BI tentu sudah bekerja dan terus memantau kondisi yang ada. Kembali persoalan ini bukan hanya diselesaikan dengan kebijakan moneter tetapi fiskal. Rencana yang ada harus segera direalisasikan. Semoga kondisi ini segera diatasi dan nilai rupiah dan ekonomi Indonesia terus membaik," harapnya.[tar]
No comments:
Post a Comment