Pages

Sunday, January 27, 2019

'Sodokan' The Economist Menyengat Istana Jokowi

INILAHCOM, Jakarta - Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi di bawah pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) hanya tumbuh 5,1%. Meleset dari janji kampanye 2014 sebesar 7%.

Poin ini menjadi salah satu kritikan keras dari majalah ekonomi asal Inggris, The Economist. Jokowi dinilai gagal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Atas penilaian ini, ekonom Indef Bhima Arya Yudhistira menyebut, tidak tercapainya janji ekonomi Jokowi cermin dari kegagalan reformasi struktural. Padahal, reformasi ini sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi. "Artinya komitmen awal pemerintah melakukan reformasi struktural dipertanyakan," kata Bhima, Jakarta, Senin (28/1/2019).

Mendekati pilpres, kata dia, kebijakan presiden, malah cenderung populis, atau kebijakan yang disukai publik. Semisal, menggenjot berbagai jebis subsidi yang menyedot anggaran.

Padahal, lanjut Bhima, di awal pemerintahan, Jokowi berjanji memotong subsidim selanjutnya dipindah ke belanja infrastruktur yang dinilai lebih
produktif. Diharapkan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi. "Faktanya jelang Pemilu 2019 belanja subsidi justru naik. Kisaran 34,7% sepanjang 2017-2019," kata dia.

Tak berhenti di situ, kata Bhima, era Jokowi mengerek gaji pegawai termasuk TNI dan Polri. Di mana, belanja pegawai naik 22%, lebih besar ketimbang pertumbuhan belanja barang sebesar 18,4% dalam periode yang sama.
Sementara, belanja modal yang berkaitan dengan infrastruktur justru turun menjadi minus 9.25%. "Ini kan populis banget. Bisa jadi karena kejar suara pemilu," ujar dia.

Sekedar mengingatkan, Majalah The Economist memuat sejumlah poin kritikan terhadap tata kelola perekonomian Jokowi. Semisal, masih tingginya angka kemiskinan, pengangguran, suku bunga, infrastruktur hingga tenaga kerja yang kurang terampil.

Disebutkan bahwa pemerintahan Jokowi-JK belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Termasuk mewujudkan berbagai janji ekonomi Jokowi yang begitu indah di telinga.

Atas hal ini, pihak istana mengklaim indikator makro ekonomi Indonesia, masih tetap solid dan cenderung membaik. Pada 2014, perekonomian tumbuh 5,01% menjadi 5,17% pada 2018.

Selain itu, prospek 2019 tidak terlalu baik, karena bank sentral juga telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak enam kali dalam sembilan bulan terakhir. Ini sebuah antisipasi untuk menahan penurunan mata uang.

Selain itu, pihak istana menyebut perekonomian dunia pada 2018, tidak berada dalam kondisi yang bugar. Alhasil, negara-negara besar menggunakan kebijakan yang cenderung ketat nan protektif, demi menjaga stabilitas ekonomi.

Misalnya, yang menjadi faktor pendorong adalah kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed), kenaikan harga minyak dan dampak perang dagang AS dan China.[ipe]

Let's block ads! (Why?)

from Inilah.com - Terkini kalo berita nya ga lengkap buka link disamping http://bit.ly/2MBGPud

No comments:

Post a Comment