INILAHCOM, Jember - Undang-Undang Kepolisian yang terbit pada 2002 harus segera direvisi. Demikian benang merah pernyataan Khairul Fahmi, pengamat militer dan isu keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies, dan Muhammad Iqbal, doktor komunikasi politik Universitas Jember.
"UU Polri sudah berusia 16 tahun. Selain untuk menghindari terus berulangnya kekerasan, tentunya ada banyak situasi dan kondisi saat UU itu hadir, sudah tak cukup relevan dengan kondisi hari ini dan tantangan ke depan," kata Fahmi, Minggu (29/9/2019).
"UU Polri itu mengatur Polri setelah pisah dari TNI. Tapi paradigma dan kulturnya belum benar-benar berubah dari militer ke sipil. Selain itu, sejauh ini belum ada ketentuan yang tegas memberi jarak antara kepolisian dan kekuasaan," kata Fahmi.
Fahmi menilai, dalam beberapa hal, produk legislasi terkait TNI masih lebih jelas ketimbang Polri. "Termasuk dalam urusan-urusan di luar tugas pokok maupun dalam hal tatakelola," katanya.
Iqbal menyebut revisi UU Kepolisian mendesak. "Harus segera ada revisi UU Kepolisian yang secara lex specialis memasukkan pasal-pasal terutama terkait penanganan aksi-aksi massa dalam mengekspresikan opini sikap dan unjuk rasa," katanya.
"Seperti kita tahu bahwa penanganan aksi secara teknis yuridis hanya berada dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum," kata Iqbal.
"Meski sudah ada teknisnya mana yang boleh diambil tindakan dan mana yang tidak, faktanya, eskalasi represi dan arogansi kepolisian dalam menghentikan aksi melalui pendekatan dengan cara kekerasan terhadap pengunjuk rasa seolah makin marak saja. Seolah memuncak ketika perhelatan Pilpres, aksi buruh dan sejumlah aksi Mei 2019 hingga gelombang aksi mahasiswa milenial September Kelabu 2019," kata Iqbal.
Fahmi mencontohkan isu pengawasan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi yang bisa diadopsi untuk polisi. "Kalau KPK dipersoalkan pengawasannya, bagaimana dengan pengawasan Polri?"
Komisi Polisi Nasional memang telah ada. Namun Fahmi menilai fungsinya kurang kuat. "Dalam hal saran dan keluhan masyarakat, Kompolnas hanya bertugas untuk menerima dan menyampaikan kepada Presiden. Diperhatikan syukur, kalau tidak pun tidak ada masalah," katanya.
"Sebenarnya, Polri juga punya lembaga pengawasan internal. Ini mestinya jadi lapis pertama pengawasan. Tapi sejauh ini kesan yang bisa kita tangkap adalah kecenderungan, jeruk gak makan jeruk," kata Fahmi.
"Lalu ada persidangan etika profesi. Ini juga pada sejumlah kasus, gagal memenuhi harapan publik. Nah, harapannya adalah pada penguatan peran dan fungsi Kompolnas," tegas Fahmi.
Pimpinan Kompolnas ex officio adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Maka Fahmi mengusulkan agar penguatan peran dan revisi model Kompolnas diikuti dengan penempatan institusi kepolisian dalam subordinat kementerian tertentu pula.
Pengawasan lebih ketat dan kuat oleh Kompolnas bertujuan secara umum untuk mencegah penegakan hukum yang diskriminatif dan abusif, penegakan keamanan yang eksesif dan penggunaan kekerasan yang improper. [rok/beritajatim]
from Inilah.com - Terkini kalo berita nya ga lengkap buka link disamping https://ift.tt/2otmaRf
No comments:
Post a Comment