Pages

Thursday, November 22, 2018

BPK Diminta Ikut Audit Polemik Data Beras

INILAHCOM, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diminta menyikapi data produksi beras yang simpang siur antara Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Pengamat ekonomi, Mohamad Ikhsan mengatakan, selain BPK, KPK juga musti ikut turun tangan. Sebab, produksi yang tidak sesuai klaim tentu berhubungan dengan anggaran kementerian tersebut.

"Setelah data yang baru ada lalu ada klaim yang melebihi produksi, selanjutnya seharusnya Kementerian Pertanian melakukan rasionalkan anggaran," kata Ikhsan dalam diskusi ekonomi bertema "Impor Beras: Mengurai Polemik Data Produksi Beras" di FEB UI, di Salemba, Jakarta, Kamis (22/11/2018).

Menurut dia, perlunya rasionalisasi anggaran ini dikarenakan perbedaan data itu mencapai 41,49%. Dimana Kementan menyenut, produksi padi pada 2018 mencapai kisaran 80 juta ton. Sementara itu, dari metode penghitungan kerangka sampel area, BPS melansir produksi padi hanya 56,54 juta ton di periode yang sama.

"BPK yang harus melakukan audit investigatif supaya proses ini jangan lihat lagi ke belakang, lihat ke depan," ujar dia.

Salah satu yang mesti dirasionalkan dan dan diaudit anggarannya terkait subsidi pupuk. Pasalnya, subsidi pupuk di tahun 2018 saja mencapai Rp28,5 triliun. Lalu pada 2019, subsidi pupuk bahkan ditingkatkan menjadi Rp29,5 triliun.

Hanya saja, Ikhsan mengakui, sulit merasionalkan anggaran terkait subsidi. Mengingat sistem penentuan subsidi pupuk di Indonesia masih berdasarkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang dibuat tiap petani. Untuk itu, perlu dilakukan perubahan sistem untuk penentuan subsidi ini.

"Sistem subsidi juga harus segera diubah. Baiknya pakai subsidit output saja," imbuh mantan Ketua LPEM UI ini.

Di sisi lain, penggunaan skema Kerangka Sampel Area (KSA) yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik (BPS) bersama bekerja sama dengan kementerian dan lembaga lainnya untuk mengukur data luas baku sawah dan produksi beras terbaru, dinilai sebagai suatu tindakan penyelamatan terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Menurut dia, dengan menggunakan data akurat melalui skema KSA, dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Untuk membenahi hitung-hitungan komoditas beras saja, pemerintah harus merogoh kocek sebesar Rp60 miliar. Namun, menurut Ikhsan, biaya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan manfaat besar yang akan didapat.

Apalagi, Kementerian Pertanian, selama bertahun-tahun, menggunakan data luas baku sawah yang terbukti lebih besar dari kenyataan di lapangan. Luas baku sawah itu pula yang dijadikan sebagai tumpuan dalam perencanaan dan pengembangan berbagai program di sektor tanaman pangan padi dan lainnya yang biayanya tercantum di APBN. Biaya tersebut, superit alokasi dana seperti untuk kebutuhan benih, pupuk dan sebagainya, yang bisa jadi tidak tepat sasaran karena luas baku sawah yang selama ini menjadi acuan ternyata tidak benar.

Dijelaskan Direktur Statistik Tanam Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Badan Pusat Statistik, Hermanto, luas baku sawah yang dirilis BPS melalui skema KSA hanya 7,1 juta hektare (ha). Sementara, Kementan mengklaim luas baku sawah pada 2018 mencapai 8,1 juta ha.

Ihsan, terhadap paparan Hermanto, mengatakan sudah semestinya pemerintah membenahi semua komoditas pangan strategis agar orientasi belanja Kementan juga berubah

Ketua Perpadi, Sutarto Alimoeso, berpendapat senada. Ia menegaskan perlunya perubahan sistem subsidi pupuk di Kemetan agar lebih tepat guna. Subsidi output puk layak dipertimbangkan.

"Mungkin ke depan baiknya menggunakan data geospasial supaya lebih pas. Kita belajar dari pengalaman, mungkin kita harus sudah mulai berpikir agar subsidi itu output," ucapnya di acara yang sama, Kamis (22/11).

Terkait rasionalisasi anggaran ini juga sempat dilontarkan oleh Direktur Eksekutif Pataka, Yeka Hendra Fatika. Melesetnya klaim produksi beras Kementan hingga lebih dari 40% harus lekas ditanggapi dengan perasionalan anggaran subsidi sebesar selisih yang ada dari klaim dengan rilis BPS.

"Ya harusnya sama. Jadi ya harusnya paling tidak secara sederhana harusnya direvisi 40%. Karena itu kan beriringan. Produksi itu kan hasil dari program. Paling tidak harus direvisi sampai mendekati di situ," tegasnya, beberapa waktu lalu.[ipe]

Let's block ads! (Why?)

from Inilah.com - Terkini kalo berita nya ga lengkap buka link disamping https://ift.tt/2POFXr2

No comments:

Post a Comment