INILAHCOM, London--Berbagai kalangan menyatakan kemarahan setelah Perdana Menteri Inggris Boris Johnson membekukan parlemen menjelang batas akhir keluarnya Inggris dari Uni Eropa, proses yang dikenal dengan Brexit.
Berdasarkan kesepakatan, Inggris akan keluar dari blok Uni Eropa pada 31 Oktober.
Mendekati tanggal tersebut PM Johnson meminta Ratu Elizabeth II untuk membekukan parlemen pada Rabu (28/8/2019) terhitung mulai tanggal 10 September.
Permintaan yang telah diluluskan Ratu ini diajukan hanya beberapa hari setelah masa sidang parlemen dimulai.
Langkah ini bermakna bahwa parlemen kemungkinan besar tidak akan memiliki cukup waktu untuk membahas segala rancangan undang-undang yang dimaksudkan menghalangi Inggris keluar dari Uni Eropa.
Pemimpin oposisi dari Partai Buruh, Jeremy Corbyn, menggambarkan tindakan Johnson sebagai "perampokan demokrasi" karena pembekuan pada praktiknya tidak memberi kesempatan bagi parlemen untuk mengawasi pemerintah dalam mengambil keputusan penting seperti Brexit.
Kemarahan juga datang dari partai PM Johnson, Partai Konservatif.
Anggota parlemen dari Konservatif, Ken Clarke, menyebut langkah Johnson "sangat tidak pantas", sementara mantan pejabat di kantor PM, David Lidington, mengatakan pembekuan parlemen akan sangat menyulitkan badan legislatif meminta pertanggungjawaban eksekutif.
Tak lama setelah pengumuman pembekuan, digelar unjuk rasa di kompleks parlemen di London untuk menentang langkah PM.
Sementara itu, petisi untuk menghentikan pembekuan parlemen sudah didukung oleh lebih dari 1,3 juta tanda tangan.
Pembekuan tidak hanya berdampak secara politis. Di pasar mata uang, mata uang Inggris, poundsterling, melemah terhadap dolar AS. Pengumuman PM Johnson membuat pound tertekan dan melemah satu persen menjadi US$1,2155.
PM Inggris memang bisa membekukan parlemen. Istilah resmi untuk mendiskripsikan penutupan Parlemen Inggris adalah "proroguing" atau membekukan parlemen tanpa membubarkannya.
Para anggota parlemen tidak mempunyai suara dalam pembekuan, dengan kata lain, para anggota parlemen tak bisa menghentikan langkah PM.
Wewenang sepenuhnya berada di tangan Ratu, atas permintaan perdana menteri. Ini adalah salah satu hak prerogatif Ratu.
Jadi, itu adalah kewenangan PM Boris Johnson untuk meminta Ratu menutup parlemen sehingga memangkas pengaruh parlemen.
Di antara hal yang tidak akan bisa dilakukan parlemen dalam keadaan dibekukan adalah, para anggota tidak akan dapat melakukan pemungutan suara untuk menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah.
Bukan hal aneh bagi pemerintahan baru membekukan parlemen untuk menggelar Pidato Ratu yang berisi rencana pemerintah untuk satu tahun-tahun berikutnya.
Selain memangkas pengaruh anggota parlemen dalam pengambilan keputusan penting, pembekuan parlemen juga dapat mempersulit perencanaan Brexit tanpa kesepakatan.
Pasalnya, perdana menteri--tanpa parlemen bersidang--tidak akan mampu mengesahkan undang-undang untuk menopang dampak dari Brexit tanpa kesepakatan.
Undang-undang seperti itu, misalnya digunakan sebagai landasan untuk menyediakan dana atau sumber dana tambahan.
Pihak-pihak yang mendukung pembekuan parlemen berpendapat bahwa lembaga tersebut menghormati hasil referendum tahun 2016 dengan memastikan Inggris keluar dari Uni Eropa pada tanggal 31 Oktober.
Namun mereka yang menentang langkah itu mengatakan pembekuan parlemen tidak demokratis dan merongrong para anggota parlemen - mayoritas mereka menentang Brexit tanpa kesepakatan.
Posisi Ratu tidak memungkinannya menolak permohonan perdana menteri, jelas wartawan BBC urusan kerajaan, Jonny Dymond. Ratu berttindak atas dasar nasihat perdana menterinya. [bbc/lat]
from Inilah.com - Terkini kalo berita nya ga lengkap buka link disamping https://ift.tt/32aRB1a
No comments:
Post a Comment