INILAHCOM, Hong Kong--Penyelenggara unjuk rasa antipemerintah di Hong Kong mengatakan lebih dari satu juta orang mengikuti demonstrasi hari Minggu (9/6/2019) untuk menentang undang-undang ekstradisi ke China.
Mereka mengatakan ini adalah aksi massa terbesar sejak penyerahan Hong Kong ke China pada 1997.
Namun polisi mengklaim bahwa jumlah demonstran jauh lebih sedikit. Pada masa puncak, jumlahnya 240.000 orang, kata polisi di Hong Kong.
Undang-undang ini memungkinkan ekstradisi tersangka ke China daratan.
Para pengecam mengatakan undang-undang ini melemahkan kemandirian hukum yang dijamin saat Inggris menyerahkan Hong Kong ke China lebih dari dua dekade silam. Mereka mengatakan "undang-undang ini cacat hukum".
Rocky Chang, guru besar berusia 59 tahun yang ikut berdemonstrasi mengatakan bahwa undang-undang ekstradisi adalah akhir bagi Hong Kong.
"Ini urusan hidup atau mati ... undang-undangnya jahat," kata Chang kepada kantor berita Reuters.
Ivan Wong, mahasiswa berusia 18 tahun, mengatakan,"Suara rakyat sama sekali tak didengar."
"Undang-undang akan berdampak terhadap reputasi Hong Kong, baik sebagai pusat keuangan maupun yang terkait dengan sistem hukum. Ini sangat berpengaruh terhadap masa depan saya," katanya.
Rata-rata para demonstran mengenakan pakaian putih-putih.
Mereka berasal dari berbagai kalangan, seperti dari dunia usaha, pengacara, mahasiswa, aktivis prodemokrasi, hingga kelompok-kelompok agama.
Secara umum, unjuk rasa berjalan damai, meski aparat keamanan sempat menggunakan semprotan merica yang diarahkan ke demonstran.
Pihak berwenang di Hong Kong mengatakan sudah ada perangkat yang mencegah orang-orang yang tersangkut kasus agama atau politik untuk tidak diekstradisi ke China daratan.
Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, ingin proses amandemen undang-undang tentang ekstradisi ke China daratan rampung sebelum Juli.
Berdasarkan usulan perubahan yang dimasukkan oleh pemerintah Hong Kong, tersangka kasus pembunuhan dan perkosaan di Hong Kong bisa diekstradisi ke China daratan Taiwan dan Makau.
Pemerintah mengatakan keputusan akhir apakah seseorang akan diekstradisi atau tidak, berada di tangan pengadilan Hong Kong.
Tidak ada aturan umum, dan semuanya diputuskan kasus per kasus.
Hong Kong selama beberapa puluh tahun menjadi bagian Inggris dan diserahkan ke China pada 1997.
Sebagai bekas koloni Inggris, Hong Kong dikenal sebagai daerah semiotonom "satu negara, dua sistem".
Hong Kong memiliki sistem hukum tersedia dan warga di sini menikmati kebebasan yang tidak didapat di China daratan.
Hong Kong memiliki perjanjian ekstradisi dengan 20 negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, namun tak ada perjanjian serupa dengan China daratan, meski perundingan ekstradisi dengan Beijing sudah dilakukan dalam dua dasawarsa terakhir.
Beberapa pihak mengatakan tidak adanya kesepakatan dengan Beijing disebabkan oleh lemahnya perlindungan hukum terhadap terdakwa di China daratan. [bbc/lat]
from Inilah.com - Terkini kalo berita nya ga lengkap buka link disamping http://bit.ly/2WqMCpR
No comments:
Post a Comment